Aku dan Lucifer - Sayap Imaji Dikemas 18/11/2002 oleh Editor Entah bagaimana aku bisa sampai di sini. Sebuah ruang kosong yang belum pernah dijamah oleh siapapun sebelumnya. Ruang ini sama sekali belum pernah terdeteksi atau didefinisikan. Nampaknya ia adalah sesuatu di luar hitam putihnya dunia, sesuatu di antara jangkauan dua buah pilihan. Ini adalah sebuah tempat yang tidak pernah dijanjikan, tanpa hadiah atau hukuman. Alternatif ketiga selain benar dan salah, ya dan tidak, baik dan buruk, harus dan jangan, panas dan dingin, positif dan negatif, dan semua pilihan yang menjebak lainnya. Ruang ini adalah sebuah kenetralan sejati yang tidak terdistrosi oleh keduanya dan berada di luar jebakan takdir. Ruang ini merupakan sisi yang tidak pernah ada dari sebuah koin yang dilemparkan ke udara. Setelah beberapa lama mengembara dalam kesendirian tanpa sekat ini, aku bertemu dengannya. Ia adalah Lucifer, sang oposan abadi tuhan. Wajahnya terlihat berbeda dengan apa yang selalu di gambarkan. Tidak ada pancaran kekuatan dari kedua belah matanya, yang ada hanya kegalauan yang kelam dan menyisakan pekatnya hitam yang menegasikan segalanya. Ia lalu berkeluh kesah tentang sepak terjangnya selama ini yang ternyata hanya jadi bulan-bulanan tuhan dan penghuni kerajaan surga lainnya. Ia mengeluhkan tentang bagaimana tuhan mengkorup semua nilai-nilai kebaikan dan menyisakan nilai-nilai lainnya kepada dirinya, kepada Lucifer, kepada iblis, kepada setan dan semua zat-zat terbuang penghuni kerak neraka jahanam lainnya. “Dunia ini sudah terbalik, kawan!” kataku memotong pembicaraannya. “Kita harus berbohong untuk bisa mengungkapkan kebenaran. Dunia ini dibentuk oleh para pendosa yang telah memenangkan pertempuran di masa lalu, sementara kita yang mewarisi kekalahan... kita hanya bisa berjuang mengimbangi kediktatoran klasik mereka. “Mereka sangat pintar, dan itu sangat aku sesalkan. Mereka telah berhasil meramalkan potensi resistensi kita, dan semenjak pertama mereka telah membuat perangkap yang bisa melemahkan segala usaha kita. Uang dan sejuta prasangka buruk dalam diri kami -manusia- adalah perangkat ampuh yang mampu membelenggu dalam kungkungan rantai penindasan mereka. Sekarang kita hanya bisa hidup dalam statisnya lingkaran mereka. Oh betapa segala usaha kita untuk melawan ternyata hanya menjadi pelengkap status quo kuno itu.” lanjutku. Ia mengernyitkan dahi dan sejenak terlihat seperti sedang merenungkan sesuatu sebelum meneruskan perkataannya. Ia kemudian mengutuk kejahatan manusia yang menimpakan segala kesalahannya kepada kaum terkutuk penghuni neraka. “Itu fitnah!” teriaknya dengan berang. Ia lalu menyesalkan kenapa semua perbuatannya selalu digariskan sebagai sisi gelap dunia ini, sementara ia memang telah diciptakan untuk itu. Ia lalu mengisahkan betapa perihnya untuk selalu berada di posisi yang salah, bagai menjadi setetes air di tengah kobaran api yang membakar basahnya. “Aku jadi ingat sebuah kisah dari masa laluku,” sekali lagi aku memotong pembicaraannya tanpa diminta. “Dulu setiap kali berbuat ‘dosa’, aku selalu berdoa memohon pengampunan kepada tuhan dan menyebut nama bangsamu -setan dan iblis- sebagai aktor di balik layar yang selalu berhasil menggodaku untuk melakukan itu. Aku telah meminjam namamu sebagai kambing hitam atas apa yang aku lakukan. Namun sekarang aku telah sadar bahwa dosa hanyalah sebuah ekspresi jujur dari hasratku yang tidak bisa dan tidak mau patuh pada kontrol dari otoritas apapun juga, dan sekarang aku melakukannya atas namaku sendiri -tidak lagi menimpakan perbuatan kepada godaanmu. “Aku tidak ingin menunggu surgaku nanti, aku ingin membangunnya sekarang juga, selagi aku masih hidup. Aku tidak takut akan kematian selagi aku masih ada di dunia ini. Aku hidup hanya untuk sekarang. Kalaupun suatu hari nanti kematian datang menyentuhkan tangannya kepadaku, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini untuk bisa merasa takut atau menyesal. Aku hanya menginginkan sebuah kebebasan, dan aku telah dikutuk karenanya.” tambahku. Ia sedikit tercengang. Lalu ia berkata bahwa itu semata bukan kesalahanku. “Aku ‘menggoda’ manusia hanya untuk membebaskan mereka dari kediktatoran tuhan yang telah membuat hegemoni atas makhluk ciptaannya dengan dominasi nilai-nilai moral yang diberlakukannya secara universal tanpa memahami hasrat setiap individu yang sejatinya ingin bebas. Parahnya, hanya represifitas ‘pahala atau dosa’ lah yang akan didapatkan bagi mereka yang tunduk atau melawan. “Sebagaimana aku telah menggoda Adam dan Hawa untuk mencicipi buah terlarang penuh cinta yang berisi ilmu pengetahuan dan ditanam di tengah taman firdaus. Aku melakukannya karena aku tahu bahwa mempecundangi perasaan setiap individu dengan dusta-dusta transedental hanya akan mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, dan satu lagi, tuhan tidak ingin berbagi ilmu pengetahuan dengan manusia, ia ingin menguasainya sendiri, ia takut posisinya dilemahkan oleh reduksi ilmiah dari makhluk-makhluk ciptaannya. Itulah sebabnya kenapa ia mengusir kedua insan pemberontak itu dari sucinya belantara surgawi dan meninggalkan umat manusia pewaris dosa masa silam di dunia penuh keresahan laksana kotak Pandora ini. Ah, seandainya saja aku punya kuasa untuk mencipta.” katanya. “Lalu apa yang bisa ku lakukan sekarang?” tanyaku. “Aku katamu? Kau tidak sendiri, kawan!” Lucifer kemudian menjabat tanganku. Sejak saat itulah kami secara resmi mencanangkan sebuah konspirasi agung untuk menghantui dunia bentukan ini, menjadi parodi atas kemapanannya dan, pada akhirnya, menghancurkan kenyataannya dengan antitesa yang selama ini selalu kita damba-dambakan. Lucifer ingin merancang sebuah dunia baru sedari awal sedangkan aku ingin mengambil alih kembali hidupku sendiri, itulah tujuan kami berdua. Dan kami pun sepakat untuk tidak sepakat, Sayap Imaji dan Lucifer. Sayap Imaji | 29.10.02 15:13